Updated: August 25, 2025 at 01:37 PM
9 min read
Media Sosial lagi ramai-ramai nya nih dengan konten viral Aura Farming Pacu Jalur. Bahkan, saat acara 17 Agustus di Istana, para bocil Pacu Jalur diundang ke Istana untuk melakukan performance ala Pacu Jalurnya, Wakil Presiden Gibran pun hadir langsung ke lokasi Pacu Jalur pada hari pertama (20 Agustus) untuk pembukaan acara Pacu Jalur.

Karena penasaran dan sekalian biar ada stock foto, saya dan teman-teman akhirnya memutuskan untuk pergi ke Kuantan Singingi untuk menyaksikan Pacu Jalur secara langsung.
Sebelum berangkat, kami memastikan semuanya sudah terencana dengan baik untuk menghindari situasi tak terduga yang bisa membuat kami kebingungan nanti. Mulai dari transportasi nya naik apa, restoran apa saja yang ada di sana, di mana tempat kita parkir nanti, dan bagaimana cara menonton Pacu Jalurnya.
Sejak awal perencanaan keberangkatan ini, dari jadwal yang tersedia (20-24 Agustus), kami memutuskan untuk pergi pada tanggal 23 Agustus, karena hari terakhir pasti akan sangat ramai. Terlebih lagi, di hari terakhir akan ada rapper asal Amerika, “Melly Mike“. Kami juga berencana hanya menginap satu malam di Pekanbaru, lalu berangkat ke Kuantan Singingi pada pukul 2 pagi keesokan harinya, agar bisa tiba di sana pukul 6 pagi karena perjalanan memakan waktu 4 jam.

Lalu, sehari sebelum kita berangkat, teman saya mengirimkan link TikTok yang kebetulan muncul di berandanya. Video itu menampilkan orang-orang yang sedang membicarakan Pacu Jalur, dan di kolom komentar ada yang bertanya tentang jam mulai acara. Pembuat video itu menjawab bahwa acara dimulai jam 2 siang.

Hal ini cukup mengejutkan kami karena semua informasi yang selama ini kami kumpulkan dari berbagai situs web menunjukkan bahwa acara dimulai pukul 8 pagi. Setelah mengetahui informasi baru ini, kami merombak rundown dan akhirnya memutuskan untuk menginap selama 2 malam di Pekanbaru.
Kami berangkat dari Duri pada tanggal 22 Agustus sekitar pukul 8 malam, lalu bermalam di Pekanbaru untuk beristirahat. Keesokan paginya, kami melanjutkan perjalanan ke kota Taluk Kuantan, Kuantan Singingi, pada pukul 8 pagi. Karena dari Duri kami menggunakan mobil listrik, kami memutuskan untuk menyewa mobil saat pergi ke Kuansing. Ternyata ini keputusan yang tepat, karena setibanya di Kuansing, kami tidak menemukan adanya SPKLU di sepanjang jalan lintas.

Perjalanan mengarah Kuansing cukup lancar, karena jalannya pun bagus (untuk standar lintas Sumatera). Tidak ada lubang yang besar karena banyak sekali yang sudah di tambal. Tapi tambalannya ini yang bisa bikin kurang nyaman, apalagi kalau mobilnya kecil dan kita melaju dengan kecepatan tinggi. Lalu lintas pun terlihat cukup lenggang, hanya sedikit padat di beberapa titik saja.

Setibanya di Kota Taluk Kuantan pada pukul 12.15, rencana awal kami adalah langsung menuju lokasi untuk melihat situasi dan kondisi terkini, kemudian baru pergi makan. Tapi, sesampainya di sana, ternyata jalan menuju pinggir sungai tempat Pacu Jalur itu sudah di tutup dan hanya bisa dilalui pejalan kaki, petugas pun langsung mengarahkan mobil kami untuk masuk ke lokasi parkir. Lokasi parkir ini tidak disebutkan dalam video TikTok yang diunggah oleh pemda Kuansing, tapi karena jaraknya lebih dekat (hanya 350 meter dari arena Pacu Jalur!) dibandingkan lokasi parkir yang awalnya kami rencanakan, kami memutuskan untuk langsung parkir di sana. Area parkirnya terlihat seperti tanah pasir yang baru diratakan, dan sudah sangat ramai padahal acara baru dimulai dua jam lagi. Sesudah parkir, kami sebenarnya tidak terlalu terkejut mendengar harga tiket parkirnya yang lumayan tinggi (Rp50.000) karena dari media sosial sudah banyak yang mengingatkan tentang ini.

Sumber: https://www.tiktok.com/@kuansingkab/video/7539391669049871623
Saat keluar dari mobil setelah parkir, kami merasa cukup bersyukur karena cuacanya yang sedikit berawan. Hal ini membuat suhu tidak terlalu panas saat kami menonton di sana. Rasanya cukup sejuk.


Hal pertama yang kami cari adalah toilet. Kami sempat kebingungan mencari lokasinya karena tidak ada tanda-tanda yang jelas menunjukkan arahnya. Kami bahkan sempat bertanya kepada warga setempat, tetapi mereka pun tidak tahu. Akhirnya, kami memutuskan untuk menelusuri area sekitar arena itu secara langsung. Kami menyeberangi Jembatan Gantung Polong Putui (yang berada tepat di atas arena Pacu Jalur) untuk menuju ke toilet yang ada di masjid.

Jembatan penyeberang ini dijaga banyak aparat, sepertinya untuk mengatur jumlah pengunjung yang bisa melewati jembatan dan juga untuk mencegah orang yang mau nonton Pacu Jalur di Jembatan itu sendiri. Jika sudah terlalu banyak orang yang berada di atas jembatan, maka akan di stop dari satu sisi. Karena terlihat jembatannya cukup kecil dan punya beban maksimal 2 ton.
Setelah menyeberang, di kiri kanan banyak yang menjual oleh-oleh seperti gantungan kunci dan kripik.

Sesampainya di masjid, ternyata sudah sangat ramai. Ada yang duduk di tangga masjid sambil menunggu acara dimulai, ada yang sedang Shalat, dan ada juga yang ingin ke toilet. Untuk ke toilet pun harus antre cukup lama. Kata teman saya, airnya habis, jadi untuk menyiram hanya cukup satu kali saja. Kebayang kan seperti apa?
Kami kemudian menyeberangi jembatan lagi untuk mencari informasi tentang tribun.

Kesalahan pertama kami sebenarnya terjadi di sini, karena saat tiba di No. 10 (Tribun Finish), kami langsung tergoda dengan tawaran pedagang. Harga tiket awalnya Rp80.000, tetapi setelah dinegosiasi akhirnya bisa turun menjadi Rp70.000. Pedagang itu mengatakan bahwa harga tersebut “spesial” karena kami datang jauh-jauh dari Duri. Dia juga bilang jika kami cek tribun lain, harganya bisa lebih mahal, bahkan mencapai Rp100.000. Mendengar hal itu, kami langsung masuk ke Tribun Finish tanpa berpikir panjang.
Sekarang (setelah Pacu Jalur dimulai) kami baru paham, kenapa tribun No.8 (tribun gratis – duduk di tangga batu) dan No. 9 (tribun berbayar) ini sudah sangat ramai bahkan 2 jam sebelum acara mulai, dan tribun No.10 masih sangat sepi.

Tribun Finish ini letaknya memang sesudah garis finish, yaitu di depan titik ke-6. Ternyata, hasil lomba jalur (menang atau tidaknya) biasanya sudah terlihat saat jalur mencapai titik ke-4 atau ke-5. Jika selisihnya sudah terlalu jauh, mereka biasanya “menyerah” dan berhenti mendayung. Hal ini membuat kami agak kesulitan menikmati “aksi” mereka, karena saat mereka tiba di depan kami (titik ke-6), mereka sudah terlihat senang (menang) atau sedih (kalah). Kesulitan lainnya adalah speaker komentator yang sangat tidak jelas, sehingga kami tidak tahu apakah tim Pacu Jalur sudah mulai atau belum.

Setelah puas mendapatkan photo dan video, kebetulan waktu menunjukkan pukul 15.30, dan Pacu Jalur dihentikan sementara untuk Shalat Ashar. Kegiatan di lanjutkan kembali pukul 16.30. Karena waktu kami yang terbatas, kami memutuskan untuk keluar dari tribun dan sekalian menelusuri tempat-tempat lainnya di arena Pacu Jalur ini.


Setelah melewati keramaian ini, kami yang sudah kelelahan dan lemas karena belum makan siang memutuskan untuk tidak melanjutkan penelusuran hingga ke Taman Pacu Jalur karena tempat tersebut terlalu ramai. Kami pun kembali ke tempat parkir dan langsung menuju restoran untuk makan siang (pukul 16.00).
Awalnya, kami berencana makan di Kedai Mie Ipunk karena sebelumnya melihat beberapa review yang katanya tempat ini cukup direkomendasikan. Namun, ternyata lokasinya berada di dalam wilayah arena pacu jalur sehingga tidak bisa dilewati kendaraan. Akhirnya, kami memutuskan untuk pergi ke Botani Cafe dan Resto saja, karena lokasinya sudah searah dengan jalan pulang.
Kami berangkat dari Kuansing menuju Pekanbaru pada pukul 17.00, namun waktu ini ternyata kurang ideal karena bertepatan dengan kepulangan penonton Pacu Jalur lainnya. Perjalanan pulang memakan waktu sekitar 5 jam. Perjalanan menuju Pekanbaru dari Kuansing terasa jauh lebih menyeramkan di malam hari. Banyak pengendara yang menggunakan lampu jauh meskipun ada orang di depannya, ditambah lagi jalanannya yang lebih bergelombang. Tidak ada penerangan sama sekali, jadi hanya mengandalkan lampu kendaraan. Untuk yang berencana bepergian malam, disarankan setidaknya sudah melewati Lipat Kain sebelum gelap. Kami tiba di Pekanbaru pukul 22.00 dan bermalam di sana sebelum melanjutkan perjalanan ke Duri keesokan harinya.
Biaya Transportasi:
| Item | Price |
| Sewa Mobil Brio Matic | Rp350.000 |
| BBM untuk Perjalanan | Rp280.000 |
| Top-up Emoney | Rp150.000 |
| TOTAL | Rp780.000 |
Biaya Makan:
| Item | Price |
| Makan di Kuansing (Makan siang dan ngemil – traktiran) | Rp140.000 |
Biaya Pacu Jalur
| Item | Price |
| Tribun Finish | Rp70.000 |
Total Biaya: Rp990.000 (diluar biaya penginapan, karena kami menginap di tempat keluarga)
Kesimpulan dari Notes ini adalah masih banyak hal yang perlu diperbaiki untuk panitia Pacu Jalur ke depannya. Misalnya, speaker komentator sebaiknya merata di semua lokasi agar semua orang bisa mendengar dengan jelas apa yang terjadi. Selain itu, perlu dibuat tanda arah tempat seperti toilet agar pengunjung tidak kebingungan, serta sterilisasi arena Pacu Jalur agar tidak ada yang masuk ke dalam sungai. Hal ini cukup berbahaya karena jalur tersebut sangat kencang dan sulit untuk berhenti.

Jika ditanya apakah kami ingin menonton Pacu Jalur di tahun-tahun mendatang, jawabannya tentu saja iya! Sebab ini adalah salah satu warisan budaya Riau yang harus dilestarikan dan tidak hanya ramai ketika sedang viral. Menurut seorang pengunjung asal Kuansing yang sempat saya temui, pada Pacu Jalur 2025 jumlah penonton meningkat drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini juga didorong oleh popularitas Aura Farming Dhika, seorang bocil kontestan Pacu Jalur yang viral di media sosial.

Sekian dari darelisme Notes kali ini, terima kasih sudah membaca! Sampai jumpa di Notes berikutnya.